ANAK YANG CERDAS DAN BERGUNA BAGI LINGKUNGAN BISA MENYEIMBANGKAN KECERDASAN INTELEKTUAL, EMOSI, DAN MENGGUNAKANNYA.
Anak yang pintar belum tentu cerdas. Sering kali, ada orang yang pandai di sekolah tapi tidak sukses dalam pergaulan dan pekerjaan sehari-hari. Atau sebaliknya, ada orang yang tidak pandai di sekolah tapi happy dan sukses dalam pergaulan dan pekerjaan sehari-hari.
Mengapa?
Psikolog Eileen Rachman mengatakan, ini semua tidak terlepas dari pentingnya IQ (kecerdasan intelektual) dan EQ (kecerdasan emosi). ''Anak yang cerdas dan berguna bagi lingkungan adalah anak yang dapat menyeimbangkan kecerdasan intelektual, emosi, dan menggunakannya,'' tuturnya.
IQ, kata Eileen, sering disamakan dengan intelijensia. Padahal, IQ hanya mengukur sebagian kecil intelijensia atau kecakapan. IQ antara lain hanya mengukur kemampuan membayangkan ruang, melihat lingkungan sekeliling secara menyeluruh, dan mencari hubungan antara satu bentuk dengan bentuk lainnya. Tapi, IQ tidak mengukur kreativitas, kearifan, dan kemampuan sosial.
Jadi, belum tentu anak yang IQ-nya tinggi bakal kreatif. Bisa jadi memang pintar, tapi tidak happy dan sosialisasinya kurang. Anak yang cerdas adalah anak yang bisa berkreasi secara logis dan berguna terhadap apa yang dialami di lingkungannya. Anak yang pintar tapi tidak bisa mengatasi masalah, itu tidak cerdas.
Kecerdasan, kata dia, adalah pemahaman dan kesadaran anak terhadap apa yang dialaminya. Di dalam pikirannya, pengalaman ini diubah menjadi kata-kata atau angka. ''Pemahaman berbuah pengetahuan,'' ujar konsultan sumber daya manusia yang juga direktur Experd ini.
Namun, dia mengingatkan, terlalu banyak pengetahuan seperti kata-kata, angka, rumus, dan simpulan yang tidak berdasarkan pengalaman dapat menghambat perkembangan anak. Hanya mengandalkan pengalaman, sulit menggambarkannya melalui kata-kata dan angka, juga menghambat perkembangan.
Untuk itu, katanya, perlu merangsang cara belajar anak. Misalnya, dengan mengerjakan puzzle, teka-teki, atau belajar keterampilan baru. Ini bisa mengaktifkan kerja pikiran anak walaupun tidak akan meningkatkan skor IQ-nya. Sama seperti otot. Otot yang terlatih lebih siap bila digunakan. Bagaimana mengoptimalkan kecerdasan anak? Menurut Eileen, itu bisa dilakukan dengan meningkatkan cara belajar, cara membaca, dan cara mengulang.
Cara-cara ini perlu diperkenalkan kepada anak, di samping memperkenalkan strategi, mengambil keputusan yang rasional, dan mencetuskan ide selancar mungkin.Cara lain adalah midmapping. Artinya, biasakan anak mendiskripsikan konsep dengan cara menggambarkannya secara bebas, baik dengan kata-kata, warna, maupun gambar. ''Biarkan anak menghubungkannya dengan apa saja.Biarkan ia bebas menggambarkan hubungannya,'' tuturnya.
Eileen menuturkan, agar anak bisa membaca lancar dan pemahaman penuh, menulis secara kreatif, mengeja dan mengingat, mendengar dan berpikir sekaligus pada saat yang sama, maka dibutuhkan koordinasi otak kiri dan kanan dengan baik dan terlatih. Untuk itu, perlu menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan.
Menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan bisa dilakukan dengan latihan. Misalnya, olahraga dan senam yang melibatkan kedua tangan dan kaki secara seimbang. Atau menggambarkan angka OO selebar-lebarnya dengan kedua lengan secara berlawanan.
Cara menyeimbangkannya, menurut dia, melalui kebiasaan-kebiasaan. Misalnya, menikmati musik dan kesenian lainnya, menikmati warna, ruang, dan bentuk, menghargai kreativitas, dan menghargai kepekaan perasaan. ''Kecakapan anak akan optimal bila semua potensinya dikembangkan,'' tuturnya. Potensi yang dimaksud adalah daya pikir, daya serap, dan emosi.
Bagaimana dengan EQ?
Ini menyangkut angka kapasitas mental yang didasari kepekaan emosi, penyadaran, dan kemampuan mengatur emosi. ''Anak yang kapasitas emosi tinggi dapat membedakan emosi negatif dan positif dan tahu cara mengubah emosi negatif menjadi positif,'' ujarnya.
Anak dengan kecakapan emosi tinggi, antara lain sadar diri, pandai mengendalikan diri, bisa dipercaya, bisa beradaptasi, dan kreatif. Juga bisa berempati, memahami perasan orang lain, bisa menyelesaikan konflik, bisa bekerja sama dalam tim, berani bercita-cita, bisa berkomunikasi, percaya diri, suka membaca tanpa didorong-dorong, serta mengingat kejadian dan pengalaman dengan mudah.
Untuk mengasah kecakapan emosi, Eileen mengatakan, itu bisa dilakukan dengan membiasakan anak menentukan perasaan dan tidak cepat-cepat menilai orang lain atau situasi. Ajak anak berpikir yang betul. Misalnya, saat dalam penantian. Sebaiknya anak tidak mengatakan, ''Ini menyebalkan.'' Ajak anak mengatakan yang sebenarnya, misalnya, ''Aku tidak sabar.''
Perlu juga mengajak anak menggambarkan kekhawatirannya, menyatakan kebutuhan emosinya, mengajak orang menghormati orang lain, atau mengajak anak merasakan energinya, bukan kemarahan. ''Bila anak marah, ajak ia untuk bersemangat mencari pemecahan masalahnya,'' tuturnya. Bagaimanapun, menurut dia, kecakapan anak akan optimal bila semua potensinya dikembangkan.
0 comments:
Post a Comment